
SULUT – Komisi IV DPRD Sulut mengadakan hearing bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulut, jajaran RSUP Kandouw, RSUD Ratumbuysang, RSUD Noongan, RSUD Sam Ratulangi Tondano serta RSUD Mata, Kamis (31/05/18).
Dalam hearing tersebut terungkap dimana lembaga pendukung seperti Dinkes dan BPJS menjadi pihak yang mengganjal kesempurnaan pelayanan di rumah sakit.
Adapun yang menjadi permasalahan yang dihadapi semua rumah sakit dimana selama puluhan tahun sebelum diterapkannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan, pola pembayaran yang dilaksanakan rumah sakit yakni pasca bayar atau pasien datang, dilayani kemudian bayar.
Sejak 1 Januari 2015 secara mendadak terjadi perubahan menjadi pola pra bayar (prospective payment) dengan sistem paket yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dan tanpa ada waktu penyesuaian sistem internal rumah sakit.
Hal tersebutlah yang dinilai pihak rumah sakit menjadi pengganjal, sehingga secara cepat rumah sakit harus menyesuaikan sistem JKN dengan melaksanakan internalisasi sistem tersebut.
Terkadang ada oknum-oknum di dalam rumah sakit yang belum terbiasa dengan sistem baru sehingga masih “suka” memungut biaya langsung kepada pasien-pasien pesert JKN yang sebenarnya berdasarkan regulasi dan sistem tidak diperbolehkan, karena sesungguhnya pasien telah membayar lunas biasa pengobatan ketika pasien masih sehat. Ketika pasien peserta JKN sakit, tidak boleh dipungut biaya sepeserpun untuk pelayanan yang didapatkan sesuai haknya.
Menurut Komisi IV DPRD Sulut, selain masalah sistem tersebut di atas, ada kebijakan baru yang dikelurkan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulut yang mengharuskan semua pengadaan obat, bahan habis pakai di RS dan UPTD dipusatkan di Kantor Dinkes di Jl 17 Agustus Manado dengan menunjui satu orang Pejabat sebagai PPK untuk semua RS dan UPTD.
Dan kebijakan baru yang belum resmi baru sebatas lisan tetapi sudah berlangsung wajib dipatuhi Rumah Sakit dan UPTD sehingga jika membutuhkan obat dan bahan kebutuhan pelayanan lainnya harus diproses di Kantor Dinkes di Manado, sehingga harus menempuh perjalanan yang memakan waktu dan biaya. Ini jelas memperlambat proses pelayanan kebutuhan pasien di RS.
Selain itu juga mengenai terkait benar adanya sentralisasi proses pengadaan obat-obatan, bahan habis pakai, cetakan, belanja modal dan seluruh jenis pengadaan yang DPA di RS dan UPTD, di sentralisasi di dinkesda, dan Para direktur sebagai kuasa pengguna anggaran kesannya dilangkahi dan dipasung kewenangannya dengan ditunjuknya satu orang PPKOM dan hanya satu orang pejabat pengadaan di Dinkes.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Komisi IV DPRD Sulut James Karinda menilai, sentralisasi pengadaan yang terjadi menyebabkan terganggunya pelayanan di rumah sakit.
“Karena lambatnya sistem tersebut, pasien harus membeli obat sendiri. Kalau rumah sakit setiap hari harus melakukan pengambilan obat langsung ke Dinkes, tidak efektif dalam segi waktu. Semua proses pengadaan yang cepat namun dialihkan ke central itu keliru, ” jelas JK sapaan akrab Karinda.
Atas masalah tersebut, Karinda berharap akan ada perubahan sistem dalam pelayanan. “Sebaiknya ini direvisi dan kembalikan fungsi pengadaan obat, belanja modal dan pengadaan lain kembali ke rumah sakit. Karena yang paling tahu kondisi di rumah sakit adalah pihak rumah sakit, bukan Dinkes,” tuturnya. (ika)